Saturday, May 19, 2012

Shalawat Tarhim

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ imâmal mujâhidîn yâ Rasûlallâh

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ nâshiral hudâ yâ khayra khalqillâh

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ nâshiral haqqi yâ Rasûlallâh

Ash-shalâtu was-salâmu ‘alâyk
Yâ Man asrâ bikal muhayminu laylan nilta mâ nilta wal-anâmu niyâmu
Wa taqaddamta lish-shalâti fashallâ kulu man fis-samâi wa antal imâmu

Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman
Wa ilal muntahâ rufi’ta karîman wa sai’tan nidâ ‘alaykas salâm
Yâ karîmal akhlâq yâ Rasûlallâh

Shallallâhu ‘alayka wa ‘alâ âlika wa ashhâbika ajma’în


Artinya
Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
duhai pemimpin para pejuang, ya Rasulullah

Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
duhai penuntun petunjuk Ilahi, duhai makhluk yang terbaik

Shalawat dan salam semoga tercurahkan atasmu
Duhai penolong kebenaran, ya Rasulullah

Shalawat dan salam semoga tercurahkan padamu
Wahai Yang Memperjalankanmu di malam hari Dialah Yang Maha Melindungi

Engkau memperoleh apa yang kau peroleh sementara semua manusia tidur
Semua penghuni langit melakukan shalat di belakangmu
dan engkau menjadi imam

Engkau diberangkatkan ke Sitratul Muntaha karena kemulianmu
dan engkau mendengar suara ucapan salam atasmu
Duhai yang paling mulia akhlaknya, ya Rasulullah

Semoga shalawat selalu tercurahkan padamu, pada keluargamu dan sahabatmu

Wednesday, May 16, 2012

Ibuku


Ibu,
Jiwa dan hidupku,
Kebahagiaan dan harapanku,
Sekarang dan masa akan datang,
(Terjemah lirik lagu Ummi karya Haddad Alwi)

Gambar di atas adalah foto masa kecil ibu saya, Hikmawati binti Nur Ali bin Zawawi. Beliau anak betawi asli dari ayah, kakek dan buyutnya. Ibu merupakan anak tunggal dari Buya (Sebutan kakek saya Nur Ali rahimahullah) dari Isteri pertama. Pernah menjadi rebutan pengasuhan antara kedua orang tua yang bercerai. Ibu tetaplah anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebagai anak pertama, ibu dituntut untuk membantu semua adik-adiknya berjumlah 11 orang (1 dari Isteri kedua, ceria dan 10 dari Isteri ketiga). Menurut penuturan Ibu, beliau adalah anak yang paling diandalkan dalam urusan membantu rumah tangga. Alhamdulillah, beliau tetap bisa menyelesaikan belajar di SMA/MA Daarul Rahman pimpinan KH. Syukron Makmun, Senayan.

Ayahnya, Buya Nur Ali, merupakan anak betawi yang taat ugame. Biar banyak mainnya, namun beliau tetap berusaha ngaji dengan para habaib di kampung Betawi (Jakarta), salah satunya adalah Habib Naufal bin Salim bin Jindan rahimahullah. Meski Buya berasal dari keluarga berkecukupan (untuk tidak dibilang kaya) namun kehdupan tetap berjalan sederhana. Saya ingat rumah senayan bukan rumah gedong tapi rumah dengan satu tingkat yang cukup luas dengan beberapa kolam ikan. Selepas gusuran dan pindah ke Setu Babakan, baru beliau membangun rumah tingkat beserta rumah-rumah sederhana untuk anak-anaknya. Inilah Betawi, selama orang tua masih ada, mereka gak segen bantu anak-anaknya.

Beberapa orang mungkin menjadikan ini, bantuan orang tua ke anak, sebagai alasan mengapa betawi disangka malas-malas dan gagal dalam pendidikan atau ekonomi. Menurut saya tidak sama sekali. Pandangan tersebut hanya untuk orang-orang picik yang tidak mengenal siapa-siapa orang betawi. Mereka tidak tahu bahwa Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Si Pitung adalah orang betawi. Ulama-ulama para pimpinan sekolah atau pesantren juga banyak berdarah betawi. Adik-adik ibu saya lain Ayah banyak yang bekerja di perusahaan asing, dosen di kampus UI, dan lain-lain.

Menikah di usia (??) dengan pemuda rantauan Aceh yang tinggal dekat rumah. Ibu sempat merasakan kemudahan ekonomi saat Ayah masih bekerja di Bank BDN untuk 3-4 tahun ke depan. Saat saya lahir ke bumi, Ayah sudah tidak lagi bekerja di BDN, pindah ke bisnis kayu. Pada tahun 1989, rombongan keluarga Buya Nur Ali pindah ke Setu Babakan, Jagakarsa. Kehidupan ekonomi keuarga kami makin buruk karena bisnis Ayah di Kalimantan bangkrut kena tipu. Pada fase inilah, Ibu mengambil peranan penting dalam kehidupan keluarga kami.

Ibu adalah orang yang paling berperasaan di dunia ini. Beliau selalu memperhatikan keadaan anak-anaknya, apa sudah mandi, makan, dan tidur. Ibu rumah tangga andalan yang selalu menjaga kebersihan rumahnya, menyiapkan makan semua nggota keluarga, dan setiap keperluan sekolahnya dipersiapkan. Semua dilakukan dengan sigap tanpa marah-marah dan tanpa pamrih.  Jika dalam beberapa hari Ayah pulang tanpa bawa uang, beliaulah yang segera mencari akal agar anak-anaknya tetap makan dan pergi sekolah. Beliau selalu ada saat anaknya membutuhkan. Berperasaan dan sentimentil. Beliau suka sedih kalau melihat anaknya lapar atau tidak ongkos untuk sekolah. Kadang beliau juga tiba-tiba sedih kalau makanan yang sudah dimasak tidak dimakan anaknya.

Konon, saat kecil, saya adalah anak yang paling tidak tahan lapar. Setiap terasa lapar, saya akan menangis. Kalau sudah menangis, hanya dengan selembar seratus rupiah saya akan diam. Jangan tanya saya tentang itu, saya tidak tahu. Itu kata Ibu dan kakak saya. Pernah satu hari, saya disuruh untuk membeli telor atau beras ke warung Euce depan rumah dengan uang Rp. 10.000. Sayangnya, di warung barang yang mau dibeli sedang habis, saya pun balik dengan tangan kosong. Saat diminta kembali uang tersebut, hilang, tidak ada di tangan dan kantong baju atau celana. Sontak saja Ibu marah sejadi-jadinya karena uang tersebut adalah satu-satunya untuk beli beras/telor untuk beberapa hari ke depan. Alhamdulillah, sebelum kemarahan menjadi begitu besar, Buya keluar dan membela saya dengan mengganti uang tersebut.

Ibu juga orang yang suka ingin tahu kegiatan anaknya di sekolah. Jangan coba-coba bawa barang macam-macam di tas, pasti Ibu akan tahu. Seperti kejadian dengan Abang saya. Saya lewati bagian ini. Juga dengan saya. Ibu tahu siapa gadis yang saya suka di sekolah. Satu jenjang sekolah cukup satu. Memang keluarga saya adalah keluarga terbuka yang biasa melakukan diskusi antara orang tua dan anak. Di SMA, dengan kegiatan saya yang makin banyak di Rohis, saya biasa membawa main teman-teman ke rumah. Sekedar untuk memperkenalkan siapa saja teman-teman saya di sekolah. Begitupun teman kampus.

Sekarang, semua saudara kandung saya sudah menikah. Kasih sayang Ibu dan Ayah sebagian besar melimpah ke saya. Segala pakaian, makan, dan keperluan sehari-hari saya, mereka perhatikan.  Saat saya pergi i'tikaf di mesjid pada bulan Ramadhan, Ibulah yang membelikan baju lebaran. Saat sepatu atau tas perlu diganti, ibu yang mengantarkan saya membeli di pasar. Saat saya terlihat kurus, Ibu selalu menyiapkan makanan enak untuk menjamu saya pulang dari Pesantren.

Mengenai Pesantren, Ibu sebenarnya sedikit khawatir akan nasib anaknya ke depan. Mengingat di pesantren, "gaji" yang saya terima sangat kecil, Ibu khawatir saya akan kesulitan untuk mendapatkan isteri dan membangun rumah tangga. Kekhawatiran itu hilang kini, setelah saya pernah dekat dengan seorang gadis yang mau menikah dengan saya. Ibu bahkan mencuri-curi nomor telepon gadis itu untuk menanyakan langsung keseriusannya menerima saya. Sayang seribu sayang, bapaknya menolak saya. Saya tahu ini setelah selang beberapa waktu saya bilang gagal, Ibu memberitahu bahwa beliau pernah menghubungi gadis tersebut. Lucu dan dramatis.

Kedua orang tua saya selalu percaya atas apa yang saya jalani. Mereka senantiasa mendoakan saya. Saya pun sebaliknya, menjaga kepercayaan itu dengan selalu mengutarakan apa yang sedang saya lakukan.  Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan beliau dengan mengabdikan diri saya di Pesantren. Allah bantu saya untuk membahagiakan mereka.


Robbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiroo
Tuhan, ampuni aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sewaktu kecil




PS: Cek link RasFM ini, ada dua monolog tentang Ibu yang bisa menjadi renungan kita.

Sunday, May 6, 2012

Kirana

Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian
Kirana dan Paciknya, 26 Februari 2012 di Setu Babakan

Kamis malam pukul 19.12, Ibu saya mengirim pesan singkat mengabarkan bahwa Kirana masuk ICU di RS. Jakarta Medical Center (JMC). Bayi sakit buat saya itu berita biasa, apalagi orang tuanya sudah tanggap memasukkannya ke rumah sakit. Saya tidak menanggapi pesan singkat Ibu tersebut untuk kemudian tidur dengan doa untuk keponakan saya tersebut
Karena satu dan lain hal, HP saya matikan sampai dengan pukul 10.00 setelah saya sampai di Cisaat untuk keperluan dinas sekolah. Tak berselang lama, masuk telepon dari Abang yang memberitahukan kabar duka tersebut. Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, keponakan saya, anak dari adik saya, meninggal dunia shubuh tadi pukul 04.50. Segera saya pamit ke kepala sekolah, meninggalkan pekerjaan, dan segera naik angkutan umum ke Jakarta. Sampai di rumah mertua adik pukul 15.00, jenazah sudah selesai dimakamkan. Saya sedih tidak bisa menghantarkan keponakan saya ke liang lahat. Suatu pekerjaan yang saya biasa lakukan saat ta'ziyah.


Innalillahi wa inna ilaihi Roji'un, telah meninggal keponakan saya "NUR AALEYAH KIRANA" binti Radhian Yusuf, Umur 6 Bulan 19 Hari pada hari Jum'at 04-05-2012, pukul 04.50 Wib

Hubungan Keponakan dan Paman
Saya biasa diajarkan oleh keluarga bahwa pacik dan macik (sebutan paman dan bibi di keluarga) merupakan orang tua (kecil) keponakannya. Setiap keponakan harus menghormati pacik dan maciknya seperti ia menghormati kedua orang tuanya. Sebaliknya, pacik dan macik juga menyayangi keonakannya seperti anaknya dan selalu sedia membantu keponakannya. Ini tafsiran saya.
Saya ingat bahwa saya banyak sekali meminta bantuan dari para pacik/macik saya. Ibu saya punya adik kembar bernama, Nur Ali Fikri dan Nur Ali Fahmi, mereka jago dalam banyak permainan (tradisional) seperti, main layangan, buat permainan dai alat sederhana, tukang burung dara dan mancing, dan keterampilan teknis lainnya. Saya sering meminta bantuan untuk membuat tali kama yang bagus saat main layangan, minta ajarkan main burung dara, atau sekedar menyalakan motor mogok.
Pacik Ansah (Nur Syaichon) biasa dimintai tolong untuk persoalan bangunan, membetulkan mesin air, genten, masang ubin, dan banyak lainnya. Sekarang beliau aktif di Ijabi, membuat beliau dan saya banyak berdiskusi tentang keagamaan.
Dari sisi Ayah, pakde Awin dan isterinya, Allahu yarhamhuma. Mereka berdua adalah paman/bibi yang sangat baik hati dan peduli pada keluarga kami. Setiap beberapa bulan menjenguk keluarga kami untuk menanyakan apakah masih ada beras, apa sudah bayaran. Mereka suka berpesan, "kalau tidak ada beras atau ongkos sekolah datang kemari saja." Maka, kalau mereka tidak datang, dan keluarga sedang susah, biasa abang atau ibu saya yang berkunjung.
Dari pengalaman saya tersebut, maka saya ingin sekali menjadi pacik yang baik bagi keponakan-keponakan saya.
Almarhumah Kirana binti Radhian Yusuf merupakan anak dari adik saya. Secara rasa tanggung jawab, Kirana lebih besar dibandingkan dengan keponakan dari kakak saya. Saya telah mencanangkan untuk menjadi ayah kecilnya yang siap membantu tumbuh dewasa. Membelikan baju muslimah, menyarankan adik saya kemana Rana akan disekolahkan, dan mengajarkan satu-dua nilai agama untuk dipegangnya. Ingin juga memasukkan dia ke perguruan saya, biar bergerak lentik tapi elegan dan tidak ada anak laki-laki yang berani macam-macam.
Takdir Allah atas setiap kejadian yang terjadi. Saya tak perlu mendoakan kirana karena dia -insyaAllah- pasti sudah tenang di alam kubur. Kirana merupakan tabungan akhirat dari kedua orang tuanya. Cukup bagi saya untuk berdoa ini:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًَا لِاَبَوَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا
وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا وَشَفِيْعًا وَ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا
وَاَفْرِغِ الصَّبْرَعَلىٰ قُلُوْبِهِمَا وَلاَ تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ
وَلاَ تَحْرِ مْهُمَا اَجْرَهُ
--o--
Allahummaj’alha farathan li abawaiha wa salafan wa dzukhro
wa’izhotaw  wa’tibaaraw wa syafii’an wa tsaqqil biha mawaa ziinahuma
wa-afri-ghish-shabra ‘alaa quluu bihimaa wa laa taf-tin-humaa ba’daha
wa laa tahrim humaa ajraha
--o--
“Ya Allah, jadikanlah ia sebagai simpanan pendahuluan bagi ayah bundanya dan sebagai titipan, kebajikan yang didahulukan, dan menjadi pengajaran ibarat serta syafa’at bagi orangtuanya. Dan beratkanlah timbangan ibu-bapaknya karenanya, serta berilah kesabaran dalam hati kedua ibu bapaknya. Dan janganlah menjadikan fitnah bagi ayah  bundanya sepeninggalnya, dan janganlah Tuhan menghalangi pahala kepada dua orang tuanya.”