Sunday, March 31, 2013

Syed Muhammad Naquib al-Attas: Penerus Tradisi Filasafat Islam di Zaman Kini



Latar Belakang Keluarga
Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan sosok ulama dan filsuf Islam yang meneruskan tradisi keilmuan Islam pada zaman keemasannya. Beliau lahir di Bogor pada 5 September 1931 dari keluarga alawiyyin. Naquib Al-Attas merupakan keturunan Rasulullah generasi ke-37 dari Husein bin Ali bin Abi Tholib. Dari pihak ayah, Kakek Naquib al-Attas, Abdullah bin Muhsin Al-Attas adalah ulama terkemuka pada akhir abad 19 yang datang dari Yaman mendakwahkan Islam di bumi Nusantara, utamanya daerah Pekalongan, Bogor, dan Johor. Salah satu murid Beliau adalah Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al-Haddad, guru dari KH. Abdullah Syafii dan KH. Abdullah bin Nuh, Allahu yarhamhum. Makam beliau yang akrab disebut Habib Empang Keramat, di Empang, Bogor, terus ramai dengan mesyarakat yang menziarahi.
Ibunda Naquib al-Attas, Sharifah Raquan al-Ayadrus, merupakan ningrat Sunda dari Sukapura. Keturunan dari Syed Muhammad al-Aydrus yang merupakan guru dan pembimbing ruhani Nuruddin al-Raniri, ulama terkemuka pada masa kerajaan Samudra Pasai, dalam tarekat Rifa’iyah. Nenek Naquib al-Attas, Ruqayah Hanum, wanita berasal dari keluarga nigrat Turki kawin kepada Ungku Abdul Majid, adik Sultan Johor, Abu Bakar. Kakak neneknya, Khadijah adalah permaisuri Johor dan istri dari Sultan Johor. Maka itu, dalam diri Syed Muhammad Naquib al-Attas terhimpun darah ulama dan umara yang membentuk kepribadian, kepemimpinan, dan intelektualitasnya.

Pendidikan
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir dan menetap di Bogor sampai usia 5 tahun. Kemudian beliau dikirim keluarga untuk masuk sekolah dasar di Johor. Naquib al-Attas tinggal bersama keluarga pamannya yang merupakan anak dari Ruqayah Hanum dan Dato’ Jaafar bin Haji Muhammad (m. 1919), Ketua Menteri pertama Johor modern. Tatkala pendudukan Jepang, Naquib al-Attas dipulangkan kembali ke Bogor dan bersekolah di Madrasah al-‘Urwatul Wutsqa, Sukabumi (1941-1945). Tahun 1946, kembali ke Malaysia dan sekolah di English College (1946-1951), tinggal bersama Ungku Abdul Azis bin Ungku Abdul Majid, sepupu Sultan Johor, yang menjadi Ketua Menteri Johor ke-6. Ungku Abdul Azis memiliki perpustakaan tentang manuskrip dan kesusastraan Melayu, tempat Naquib al-Attas menghabiskan hari-harinya.
Selesai pendidikan menengah, Naquib al-Attas masuk dalam Resimen Malaysia sebagai Tentara. Jenderal Sir Gerald Templer dari british Comissioner of Malaya, memilih beliau untuk mengikuti pendidikan militer di Chester, Wales, dan di Royal Academy, Sandhurst, Inggris. Dalam pendidikan militernya, Naquib al-Attas terbentuk menjadi pribadi yang menghormati perintah, disiplin, dan loyalitas. Kecintaannya kepada ilmu, membuat Naquib al-Attas mudur dari karier militernya.
Naquib al-Attas melanjutkan pendidikan S1 di Universitas Malaysia (1957-1959). Pada masa kuliah tersebut, beliau menghasilkan dua buku, yaitu, Rangkaian Ruba’iyyat dan Some Aspects of Sufism as Understood and Practiced Among the Malays. Karya beliau yang terakhir mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kanada yang selanjutnya memberikan beasiswa untuk melanjutkan S2 di Institute of Islamic Studies (1960), yang didirikan Wilfred Cantwell Smith di Universitas McGill, Montreal Canada. Di sana, beliau berinteraksi dengan beberapa sarjana terkemuka seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Beliau meraih gelar master (1962) dengan tesis berjudul Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Atas dukungan Profesor A. J. Arberry (Cambridge), Sir Mortimer Wheeler (British Academy), dan Sir Richard Winsted, Syed Muhammad Naquib al-Attas meneruskan pendidikan doktoralnya ke School of Orientals and African Studies (SOAS), Universitas London. Beliau belajar kepada Profesor Arberry dan Dr. Martin Lings dan meraih gelar doktornya (1965) dengan disertasi berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (2 jilid). 
Syed Muhammad Naquib al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965, beliau ditunjuk sebagi ketua Divisi Kesusastraan di Departement Malay Studies di Universitas Malaysia, Kuala Lumpur. Tahun 1968-1970, beliau menjadi Dekan Fakultas Seni di universitas tersebut. Pada tahun 1970, beliau menjadi salah seorang pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia, dan merumuskan landasan filosofisnya. Di UKM, beliau mendirikan Fakultas Sains dan Studi Islam dan juga Institute of Malay Language, Literature, and Culture.

Penghargaan dan Karya
Syed Muhammad Naquib al-Attas memiliki segudang pengalaman dan malang-melintang dalam disuksi, simposium, seminar, dan konferensi di tingkat internasional. Tahun 1973, Naquib al-Attas memimpin diskusi Islam in Southeast Asia pada Congres International des Orientalistis. Paris. Tahun 1975, beliau dianugerahi Fellow of The Imperial Iranian Academy of Philosophy dari pemerintah Iran. Menjabat sebagai Principal Consultant pada Festival Dunia Islam di London tahun 1976. Pembicara dan utusan pada Konferensi Islam Internasional pada acara tersebut. Pembicara dan peserta aktif pada Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Mekah tahun 1977 dan memimpin komite tentang Tujuan dan Definisi Pendidikan Islam. Presiden Pakistan, Jenderal Muhammad Zia ul-Haq, pada tahun 1979 menganugerahkan Iqbal Cenetary Commemorative Medal. Pemegang pertama The Chair of Malay Language and Literature di Universitas Kebangsaan Malaysia (1970-1984).  Pemegang pertama Tun Abdul Razak Chair of Southeast Asian Studies di Universitas Ohio, Kanada (1987). Pemegang pertama Abu Hamid Ghazali Chair di ISTAC (1993). Raja Hussein Yordania menganugerahi Naquib al-Attas sebagai A Member of The Royal Academy Jordan pada tahun 1994. Setahun berikutnya, Universitas Khartoum, Sudan, menganugerahi Degree of Honorary Doctorate of Arts (D. Litt)
Syed Muhammad Naquib al-Attas telah menulis 27 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu. Beberapa buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa dan negara Muslim.

ISTAC
Syed Muhammad Naquib al-Attas mendirikan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) pada tahun 1987 dan baru diresmikan pada tahun 1991. Pendirian ISTAC merupakan pengejawantahan ide-ide Naquib al-Attas tentang Islam dan pendidikan sebagai jawaban atas masalah dasar ummat yakni kekeliruan memahami ilmu. Pada tahun-tahun tersebut sebenarnya banyak tumbuh universitas-universitas Islam yag dibangun para sarjana Muslim di berbagai negara, namun pertumbuhan yang pesat itu tidak dibarengi oleh landasan filosofis yang kuat bersumber pada Agama Islam. Beliau melihat bahwa banyak sarjana dan ilmuwan muslim, dengan sadar ataupun tidak, telah dihinggapi pemahaman ilmu yang berlandaskan pada nilai-nilai filsafat peradaban Barat. Bagi Naquib al-Attas, sebuah institusi pendidikan Islam harus dibangun pada landasan teguh ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang bersumber pada agama Islam.
ISTAC mulai dari desain bangunan, proses pembangunan, isi kurikulum, dan para pengajarnya ditangani secara cermat dan telaten oleh Naquib al-Attas sendiri. ISTAC memiliki tiga jurusan: Pemikian Islam (Islamic Thought), Sains Islam (Islamic Science), dan Peradaban Islam (Islamic Civilization).  Setiap mahasiswa harus mengambil mata kuliah wajib, yaitu Al-Qur’an, Hadis, logika, dan Agama Islam (The Religion of Islam). Jurusan Pemikiran Islam mendalami tasawuf, filsafat, dan ilmu kalam. Jurusan Sains Islam mengenai kedokteran, fisika, dan sebagainya. Jurusan Peradaban Islam tentang sosiologi, ekonomi, dan sebagainya. Pengajar ISTAC merupakan sarjana-sarjana yang pakar dan mumpuni pada bidangnya masing-masing pada tingkat lokal dan internasional. Dalam pemikiran Islam beberapa professor tersebut adalah Prof. Arlpaslan Acikgenc (Turki), Bilal Kuspinar (Turki), Hans Daiber (Jerman) penulis bibliografi Filsafat Islam, Ferid Muhic, Ernest Wolf Gazo, dan sebagainya. Dalam sains Islam, Prof. Paul Lettink, Sami K Hamarneh, dan lainnya. Dalam peradaban Islam ada Prof. Ameer Roubai, Omar Jah, Ahmad Kazemi Moussavi, dan lain-lain.
Pengajaran di ISTAC dilakukan dalam bahasa Inggris dan rujukan yang digunakan dalam bahasa Arab, Inggris, dan bahasa Muslim dan Eropa lainnya. Suasana belajar pun didiukung oleh perpustakaan yang sungguh berkualitas. Pada saat diresmikan ahun 1991, perpustakaan tersebut memuat 30.000 jilid dan jurnal dalam bahasa Eropa dan Islam, termasuk koleksi para sarjana terkemuka seperti Max Wesweiler, Fazlur Rahman, Bertold Spuler, dan sebagainya. Untuk mendukung para mahasiswa untuk menggali khazanah dari buku yang begitu beragam bahasa, ISTAC mengajarkan bahasa Yunani Kuno, Latin, dan Jerman.
Tahun 2002 merupakan tahun “kematian” ISTAC. Status otonomi ISTAC dicabut dan dikembalikan kepengurusannya di bawah IIUM. Syed Muhammad Naquib al-Attas dicopot dari jabatannya dan dilarang mengajar. Para sivitas akademika ISTAC, satu-persatu dipindahkan atau pindah keluar. Meski secara lembaga ISTAC masih berdiri sampai sekarang, namun tanpa landasan filsafat dan pemikiran Naquib al-Attas, ISTAC hanyalah jasad tanpa ruh. Berakhirlah masa keemasan ISTAC pada September 2002, tepat satu tahun setelah runtuhnya WTC di New York.
Dunia Melayu hanya memiliki sebentar saja Universitas Islam terkemuka dan unggul yang mampu menyaingi pusat-pusat studi Islam di Barat dan memberikan sumbangan berharga pada perkembangan ilmu pengetahuan dalam naungan cahaya Islam.
Semoga rahmat Allah selalu tercurah kepada beliau dan mengasihi ummat Muhammad saw.

Catatan Kuliah Filsafat Syed Muhammad Naquib al-Attas, pertemuan ke-1 (29/03), merujuk pada kertas dan paparan materi kuliah oleh Ust. Adnin Armas, MA.