Saat cinta mesti terbentur jarak, omong kosong semua cerita tentang teknologi dan globalisasi yang pernah saya ajarkan ke santri-santri saya.
Dunia sejak jaman dulu sudah saling berhubungan antara satu bagian wilayah dengan bagian wilayah dunia yang lain. Romawi dan Persia bermain bidak catur di papan dunia. Masyarakat Eropa Barat selama lebih dari 3 abad menikmati kopi dan cengkeh hasil bumi Indonesia. Teranyar, korporasi memecah bagian-bagian perusahaannya di berbagai belahan dunia, Kantor pusat di Paris, produksi di China, Pemasaran di Singapura, penjualan di Indonesia. Every parts of this world has been held by human hands.
Perkembangan teknologi sebagai tulang punggung dari globalisasi merasuk lebih jauh ke tingkat individu. Kini globalisasi bukan hanya pada tingkat negara atau perusahaan, melainkan mengikat setiap tindakan orang per orang. Setiap orang mampu dan berhak bertindak global pada setiap detik yang ia lakukan. Salah satu trend teknologi yang mendorong ini adalah perkembangan pemanfaatan internet, media social network.
Social network merekatkan semua individu di dunia. Orang dapat dengan segera meneriakkan opininya yang dapat menjangkau orang di seluruh bagian dunia. Orang dapat melihat status orang yang jauh terpisah. dan, orang dapat berkomunikasi secara instan dengan orang dari belahan bumi mana pun.
Naif, saat jarak menjadi kendala bersatunya cinta.
Bahkan dunia saat belum ada teknologi telah mampu berkomunikasi dengan orang yang jauh. Kita mengenal firasat, telepati, santet. Kita pernah mendengar Saidina Umar ibn Kaththab yang memberi instruksi pasukannya yang sedang berperang dengan pasukan persia di daerah Nahawand. Mak Lampir memantau pergerakan musuhnya dengan melihat ke kaca benggala.
Mungkin ini yang disebut technology can't buy a real-touch. Saya percaya ini. Saya orang yang tidak percaya dengan pertemanan Facebook. Tapi dengan Facebook saya bisa ketahui teman-teman saya dalam dunia nyata. Selebihnya saya menggunakan FB untuk membaca opini dan tulisan para aktivis, penulis, dan berita.
Mungkin jarak hanya sebuah alibi untuk menyimpan masalah utama lain, I am to poor to be his son-in-law. Saya harap bukan (cuma) tentang kekayaan, saya harap dia berkeberatan atas perangai saya. Saya harap dia bisa menemukan jeleknya agama saya. Karena hanya dengan itu dia berhak menolak saya.
No comments:
Post a Comment