Soal nyasar, saya memang rada pengalaman. Biar kata di Jakarta, tetap saja saya nyasar. Kebayang kalau saya ke luar kota? Nyasar atau nggak, bukan sual, yang penting tujuan tercapai. Tangerang, Bogor, Sukabumi sudah jadi medan juang penuntasan nyasar.
Kapan hari saya berangkat ke kantor di bilangan Gatot Subroto, seberang gedung Jamsostek. Dan seperti biasa, saya harus nentuin jalan mana yang mungkin paling cepat sampai kantor. Menyusuri jalan Kahfi I dari alif sampe ya, masuk Cilandak-KKO, terus ke Ampera, Bangka mentok ke jalan layang Tendean. Nah, lepas situ, saya lihat jalan arteri Mampang ke Kuningan padat merayap, langsung saya inisiatif masuk ke dalam jalan kecil berharap bisa tembus langsung ke muka jalan Kuningan. Tapi, apa mau dikata, nyasar.
Saya tiba di suatu jalan yang berjejer rumah besar di kiri-kanan jalan dengan latar gedung-gedung tinggi jika sedikit nengok ke atas. Saya pacu motor dengan lambat sambil berpikir saya lagi di mana. Di sudut jalan terlihat papan nama jalan bertuliskan "Tulodong". Astaga, Tulodong. Ini kawasan tempat saya lahir. Saya berhenti sebentar lalu memacu motor lebih pelan, bukan untuk tahu ke mana jalan keluar, tapi mencari di mana klinik dan pasar tempat saya dilahirkan 30 tahun lalu. Teringat kata Ibu bahwa saya lahir di Pasar Tulodong. Surat lahir dari klinik juga tertulis Tulodong.
Tulodong masih di bilangan Senayan, tempat saya kakak-beradik serta Ayah/Ibu tinggal. Tempat Cang, Cing, Buya, Umi, Njid, Jidah, dan segenap keluarga besar saya menjalani kehidupan sehari-hari seperti layaknya kehidupan kampung di kota. Main bola, bermain layangan, nongkrong di ujung jalan, hingga ngojek payung di Mal Ratu Plaza, salah satu mal besar tertua di Jakarta.
Sebagai orang Betawi, rumah sanak saudara semua berdekatan. Rumah saya dekat saja dengan rumah Buya (engkong), bisa ditempuh jalan kaki sebentar. Rumah saya sederhana dengan satu kamar seperti rumah kontrakan sekarang, tapi dengan dapur, kamar mandi, dan halaman yang lebih besar. Pagi dan sore, rumah Buya jadi tempat main semua anak dan cucunya.
Rumah Buya cukup luas buat menampung ke-13 anaknya. Halaman depan cuma dipagar setinggi pinggang. Pohon nangka cukup besar buat nangkep angin ngademin orang-orang yang duduk santai di teras. Di samping rumah ada dua kolam untuk pelihara ikan mas, lele, mujair, atau apa aja ikan hasil nangkep mancing untuk ditaruh buat dimasak entaran.
Sebagai orang yang tinggal di tengah kota, kami tidak perlu ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhan kami. Mau sekolah, ada. Mau main, lapangan masih ada. Mau bergaya ke mal atau ke bioskop, bisa. Semua itu bikin kami nggak perlu ke mana-mana. Di tengah semua pembangunan dan modernitas itu, keluarga Buya dan hampir semua orang Betawi tetap teguh memegang agama. Mengaji di mushala adalah keharusan, bahkan Ibu dan semua saudaranya dimasukkan ke pesantren dekat rumah, Darurrahman, yang sampai sekarang masih ada.
Sayang, masa-masa itu nggak lama. Saya cuma sempat tinggal di sana selama lima tahun pertama hidup saya. Waktu itu pemerintah sedang gencar-gencarnya membangun Jakarta. Mungkin itu yang dimaksud orang waktu menyematkan gelar Bapak Pembangunan ke Presiden Soeharto. Dia habis membangun kampung-kampung di Jakarta jadi gedung-gedung bertingkat. Konon rumah saya sekarang berubah jadi gedung Ancora.
Senayan dan Kuningan yang dulu tempat ternak sapi dan produksi susu buat para kumpeni, sekarang sudah jadi tempat ternak uang dan produksi jasa buat para kumpeni juga. Sama-sama tempat penghasil duit, bedanya sekarang bukan orang Betawi lagi yang jalanin dan nggak ada tempat lagi buat rempug keluarga.
Nasib orang Betawi emang. Dari Senayan kena gusur, pindah ke Tebet. Dari Tebet kena gusur lagi, pindah ke Jagakarsa. Dari Jagakarsa, kita yang anak-cucu Buya bergeser lagi ke Depok. Ada juga yang terlempar jauh ke Citayam. Tapi kita nggak pernah berhenti jadi orang Betawi. Gue Betawi biar sendirian.
Ada cara buat ngukuhin kejatidirian orang Betawi. Keluarga saya biasa ngadain pengajian dan arisan dua bulanan, tiga bulanan, empat bulanan, tergantung ikut jalur keluarga mana—keluarganya Buya, keluarganya Umi (nenek), atau dari keluarga buyut-buyutnya. Nominal arisan sih nggak seberapa, tapi nilai kekeluargaannya itu yang besar. Makanya, kadang arisan cuma bisa digelar di rumah saudara yang tajir. Dapetnya sedikit, keluarnya banyak.
Jika tidak sempat arisan, ada ziarah kubur saban awal/ujung bulan Ramadhan, waktu kami cucu dan cicit bisa kenal nama-nama buyut-buyut kami. Lebaran apalagi. Kesemua acara yang dirayakan bersama keluarga orang Betawi adalah juga acara keagamaan. Bukan Betawi kalau kumpul asal kumpul. Ketika kumpul selalu ada pengajiannya, tahlilnya, nasihatnya. Dan Jakarta adalah tanah yang kita bela dan hidupi dengan semangat agama dan persaudaraan.
Waktu makin siang dan saya masih berkeliling Senayan mencari sisa-sisa ingatan saya dulu. Hampir tidak ada yang seperti ingatan saya. Yang ada malah rumah besar dengan pagar setinggi pohon, tanpa teras, tanpa kolam, tanpa pohon nangka. Kali hitam yang pasti bukan buat ngobak anak-anak apalagi minum ternak sapi. Mana tanah lapang buat main bola dan layangan? Yang ada tinggal orang-orang di pinggir jalan, beberapa Betawi, beberapa bukan, dengan rumah semipermanen.
Saya dan sebagian besar keluarga mungkin tidak lagi tinggal di tengah Jakarta, tapi kami masih menghidupi Jakarta dengan tangan kami, pajak kami, dan doa-doa kami. Kedutaan Belanda sudah di depan mata, saya mengitarinya sebentar kemudian tembus masuk jalan kecil di antara dua gedung. Alhamdulillah, sampai juga di kantor.
Sumber: NuuN.id