Wednesday, May 16, 2012

Ibuku


Ibu,
Jiwa dan hidupku,
Kebahagiaan dan harapanku,
Sekarang dan masa akan datang,
(Terjemah lirik lagu Ummi karya Haddad Alwi)

Gambar di atas adalah foto masa kecil ibu saya, Hikmawati binti Nur Ali bin Zawawi. Beliau anak betawi asli dari ayah, kakek dan buyutnya. Ibu merupakan anak tunggal dari Buya (Sebutan kakek saya Nur Ali rahimahullah) dari Isteri pertama. Pernah menjadi rebutan pengasuhan antara kedua orang tua yang bercerai. Ibu tetaplah anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Sebagai anak pertama, ibu dituntut untuk membantu semua adik-adiknya berjumlah 11 orang (1 dari Isteri kedua, ceria dan 10 dari Isteri ketiga). Menurut penuturan Ibu, beliau adalah anak yang paling diandalkan dalam urusan membantu rumah tangga. Alhamdulillah, beliau tetap bisa menyelesaikan belajar di SMA/MA Daarul Rahman pimpinan KH. Syukron Makmun, Senayan.

Ayahnya, Buya Nur Ali, merupakan anak betawi yang taat ugame. Biar banyak mainnya, namun beliau tetap berusaha ngaji dengan para habaib di kampung Betawi (Jakarta), salah satunya adalah Habib Naufal bin Salim bin Jindan rahimahullah. Meski Buya berasal dari keluarga berkecukupan (untuk tidak dibilang kaya) namun kehdupan tetap berjalan sederhana. Saya ingat rumah senayan bukan rumah gedong tapi rumah dengan satu tingkat yang cukup luas dengan beberapa kolam ikan. Selepas gusuran dan pindah ke Setu Babakan, baru beliau membangun rumah tingkat beserta rumah-rumah sederhana untuk anak-anaknya. Inilah Betawi, selama orang tua masih ada, mereka gak segen bantu anak-anaknya.

Beberapa orang mungkin menjadikan ini, bantuan orang tua ke anak, sebagai alasan mengapa betawi disangka malas-malas dan gagal dalam pendidikan atau ekonomi. Menurut saya tidak sama sekali. Pandangan tersebut hanya untuk orang-orang picik yang tidak mengenal siapa-siapa orang betawi. Mereka tidak tahu bahwa Husni Thamrin, Ismail Marzuki, Si Pitung adalah orang betawi. Ulama-ulama para pimpinan sekolah atau pesantren juga banyak berdarah betawi. Adik-adik ibu saya lain Ayah banyak yang bekerja di perusahaan asing, dosen di kampus UI, dan lain-lain.

Menikah di usia (??) dengan pemuda rantauan Aceh yang tinggal dekat rumah. Ibu sempat merasakan kemudahan ekonomi saat Ayah masih bekerja di Bank BDN untuk 3-4 tahun ke depan. Saat saya lahir ke bumi, Ayah sudah tidak lagi bekerja di BDN, pindah ke bisnis kayu. Pada tahun 1989, rombongan keluarga Buya Nur Ali pindah ke Setu Babakan, Jagakarsa. Kehidupan ekonomi keuarga kami makin buruk karena bisnis Ayah di Kalimantan bangkrut kena tipu. Pada fase inilah, Ibu mengambil peranan penting dalam kehidupan keluarga kami.

Ibu adalah orang yang paling berperasaan di dunia ini. Beliau selalu memperhatikan keadaan anak-anaknya, apa sudah mandi, makan, dan tidur. Ibu rumah tangga andalan yang selalu menjaga kebersihan rumahnya, menyiapkan makan semua nggota keluarga, dan setiap keperluan sekolahnya dipersiapkan. Semua dilakukan dengan sigap tanpa marah-marah dan tanpa pamrih.  Jika dalam beberapa hari Ayah pulang tanpa bawa uang, beliaulah yang segera mencari akal agar anak-anaknya tetap makan dan pergi sekolah. Beliau selalu ada saat anaknya membutuhkan. Berperasaan dan sentimentil. Beliau suka sedih kalau melihat anaknya lapar atau tidak ongkos untuk sekolah. Kadang beliau juga tiba-tiba sedih kalau makanan yang sudah dimasak tidak dimakan anaknya.

Konon, saat kecil, saya adalah anak yang paling tidak tahan lapar. Setiap terasa lapar, saya akan menangis. Kalau sudah menangis, hanya dengan selembar seratus rupiah saya akan diam. Jangan tanya saya tentang itu, saya tidak tahu. Itu kata Ibu dan kakak saya. Pernah satu hari, saya disuruh untuk membeli telor atau beras ke warung Euce depan rumah dengan uang Rp. 10.000. Sayangnya, di warung barang yang mau dibeli sedang habis, saya pun balik dengan tangan kosong. Saat diminta kembali uang tersebut, hilang, tidak ada di tangan dan kantong baju atau celana. Sontak saja Ibu marah sejadi-jadinya karena uang tersebut adalah satu-satunya untuk beli beras/telor untuk beberapa hari ke depan. Alhamdulillah, sebelum kemarahan menjadi begitu besar, Buya keluar dan membela saya dengan mengganti uang tersebut.

Ibu juga orang yang suka ingin tahu kegiatan anaknya di sekolah. Jangan coba-coba bawa barang macam-macam di tas, pasti Ibu akan tahu. Seperti kejadian dengan Abang saya. Saya lewati bagian ini. Juga dengan saya. Ibu tahu siapa gadis yang saya suka di sekolah. Satu jenjang sekolah cukup satu. Memang keluarga saya adalah keluarga terbuka yang biasa melakukan diskusi antara orang tua dan anak. Di SMA, dengan kegiatan saya yang makin banyak di Rohis, saya biasa membawa main teman-teman ke rumah. Sekedar untuk memperkenalkan siapa saja teman-teman saya di sekolah. Begitupun teman kampus.

Sekarang, semua saudara kandung saya sudah menikah. Kasih sayang Ibu dan Ayah sebagian besar melimpah ke saya. Segala pakaian, makan, dan keperluan sehari-hari saya, mereka perhatikan.  Saat saya pergi i'tikaf di mesjid pada bulan Ramadhan, Ibulah yang membelikan baju lebaran. Saat sepatu atau tas perlu diganti, ibu yang mengantarkan saya membeli di pasar. Saat saya terlihat kurus, Ibu selalu menyiapkan makanan enak untuk menjamu saya pulang dari Pesantren.

Mengenai Pesantren, Ibu sebenarnya sedikit khawatir akan nasib anaknya ke depan. Mengingat di pesantren, "gaji" yang saya terima sangat kecil, Ibu khawatir saya akan kesulitan untuk mendapatkan isteri dan membangun rumah tangga. Kekhawatiran itu hilang kini, setelah saya pernah dekat dengan seorang gadis yang mau menikah dengan saya. Ibu bahkan mencuri-curi nomor telepon gadis itu untuk menanyakan langsung keseriusannya menerima saya. Sayang seribu sayang, bapaknya menolak saya. Saya tahu ini setelah selang beberapa waktu saya bilang gagal, Ibu memberitahu bahwa beliau pernah menghubungi gadis tersebut. Lucu dan dramatis.

Kedua orang tua saya selalu percaya atas apa yang saya jalani. Mereka senantiasa mendoakan saya. Saya pun sebaliknya, menjaga kepercayaan itu dengan selalu mengutarakan apa yang sedang saya lakukan.  Mudah-mudahan saya tidak mengecewakan beliau dengan mengabdikan diri saya di Pesantren. Allah bantu saya untuk membahagiakan mereka.


Robbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiroo
Tuhan, ampuni aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku sewaktu kecil




PS: Cek link RasFM ini, ada dua monolog tentang Ibu yang bisa menjadi renungan kita.

No comments: