Di laci satu lemari rumah saya, tersimpan dengan rapih ijazah setiap jenjang pendidikan yang telah saya lewati. SD, SMP, SMA, dan PT yang semuanya Negeri. Saya susun, saya rawat baik-baik sebagai satu kenangan perjalanan belajar saya yang nanti akan saya ceritakan kepada anak-cucu. Ijazah adalah bukti nyata perjuangan belajar saya.
Masuk sebagai seorang pengajar di sebuah pondok di satu sudut kaki gunung Salak sebelah utara, saya melihat sisi lain dunia pendidikan yang selama ini belum pernah saya lihat. Pendidikan a la pondok pesantren. Pendidikan di kawasan desa terpencil. Anak-anak dipisahkan dari orang tuanya. Mereka menjalani hari-hari dengan kegiatan terjadwal ketat. Belajar, ibadah, dan berkegiatan. Istirahat mereka adalah jeda waktu perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Selain belajar, mereka secara bergilir juga diwajibkan membantu keseharian operasional pondok. Piket dapur (harits Mathbah), piket siang (harits nahar), dan piket malam (harits lail).
Kegiatan belajar mengajar di kelas dilakukan dari pukul 07.30 sd. 14.50. dengan jeda waktu di pukul 09.00-09.30 dan 12.10-13.30. Kurikulumnya pondok dengan selipan mata pelajaran sma umum. Disebut selipan, karena pak Kyai menegaskan jati diri lembaga pendidikan ini adalah pondok pesantren, bukan sekolah umum (smp/sma). Setiap santri yang menempuh pendidikan di pondok ini selama 6 tahun mereka akan mendapat 3 ijazah yakni, smp, sma dan pondok. Singkat cerita, saya melihat tumpukan ijazah dari berbagai tahun kelulusan di lemari besi di kantor TU. Tidakkah mereka menginginkan ijazah tersebut untuk lanjut ke pendidikan tinggi atau menggunakannya untuk mencari kerja?
Alasan ijazah menumpuk itu sederhana, mereka tidak mampu melunasi utang biaya sekolah sehingga tidak bisa mambawa pulang ijazah. Meski demikian, pondok berbaik hati untuk para santri yang punya kesungguhan belajar/bekerja untuk mendapatkan ijazah salinan terlegalisir. Setelah bekerja, apa mereka tidak rindu dengan ijazah mereka? ternyata tidak. Di pondok -mana saja- ada nasehat bahwa kita tidak butuh ijazah untuk membuktikan bahwa kita berilmu atau tidak, yang penting itu amal nyata di masyarakat dalam dakwah dan bekerja. Mungkin karena nasehat itu, para alumni lulusan pondok ini tidak terlalu peduli nasib ijazah mereka. Dan ijazah itu memang tidak menghalangi mereka untuk bekerja atau melanjutkan belajar ke PT. Beberapa dari mereka bahkan saya tidak tahu bagaimana mereka bisa melanjutkan belajar tanpa meminta legalisir salinan ijazah ke saya.
Dari sembilan orang yang ikut UN pada tahun 2011/2012, berikut keterangan aktivitas mereka:
2 orang di UIN (beasiswa), 2 orang di Ma'had Nu'ami (beasiswa), 3 orang di Unida (beasiswa), 1 orang di Ikopin (beasiswa).
Ijazah alumni di atas masih ada di tangan saya sampai sekarang.
Fakta ini menguatkan saya untuk tetap berpikir optimis, sangat optimis, bahwa kesempatan mereka yang hilang karena tidak bisa ikut SNMPTN (jalur Undangan) atau ujian masuk lainnya sesaat mereka lulus, akan digantikan dengan kesempatan lain yang jauh lebih baik saat mereka menjalani pengabdian mengajar setahun ke depan.
Masuk sebagai seorang pengajar di sebuah pondok di satu sudut kaki gunung Salak sebelah utara, saya melihat sisi lain dunia pendidikan yang selama ini belum pernah saya lihat. Pendidikan a la pondok pesantren. Pendidikan di kawasan desa terpencil. Anak-anak dipisahkan dari orang tuanya. Mereka menjalani hari-hari dengan kegiatan terjadwal ketat. Belajar, ibadah, dan berkegiatan. Istirahat mereka adalah jeda waktu perpindahan dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya. Selain belajar, mereka secara bergilir juga diwajibkan membantu keseharian operasional pondok. Piket dapur (harits Mathbah), piket siang (harits nahar), dan piket malam (harits lail).
Kegiatan belajar mengajar di kelas dilakukan dari pukul 07.30 sd. 14.50. dengan jeda waktu di pukul 09.00-09.30 dan 12.10-13.30. Kurikulumnya pondok dengan selipan mata pelajaran sma umum. Disebut selipan, karena pak Kyai menegaskan jati diri lembaga pendidikan ini adalah pondok pesantren, bukan sekolah umum (smp/sma). Setiap santri yang menempuh pendidikan di pondok ini selama 6 tahun mereka akan mendapat 3 ijazah yakni, smp, sma dan pondok. Singkat cerita, saya melihat tumpukan ijazah dari berbagai tahun kelulusan di lemari besi di kantor TU. Tidakkah mereka menginginkan ijazah tersebut untuk lanjut ke pendidikan tinggi atau menggunakannya untuk mencari kerja?
Alasan ijazah menumpuk itu sederhana, mereka tidak mampu melunasi utang biaya sekolah sehingga tidak bisa mambawa pulang ijazah. Meski demikian, pondok berbaik hati untuk para santri yang punya kesungguhan belajar/bekerja untuk mendapatkan ijazah salinan terlegalisir. Setelah bekerja, apa mereka tidak rindu dengan ijazah mereka? ternyata tidak. Di pondok -mana saja- ada nasehat bahwa kita tidak butuh ijazah untuk membuktikan bahwa kita berilmu atau tidak, yang penting itu amal nyata di masyarakat dalam dakwah dan bekerja. Mungkin karena nasehat itu, para alumni lulusan pondok ini tidak terlalu peduli nasib ijazah mereka. Dan ijazah itu memang tidak menghalangi mereka untuk bekerja atau melanjutkan belajar ke PT. Beberapa dari mereka bahkan saya tidak tahu bagaimana mereka bisa melanjutkan belajar tanpa meminta legalisir salinan ijazah ke saya.
Dari sembilan orang yang ikut UN pada tahun 2011/2012, berikut keterangan aktivitas mereka:
2 orang di UIN (beasiswa), 2 orang di Ma'had Nu'ami (beasiswa), 3 orang di Unida (beasiswa), 1 orang di Ikopin (beasiswa).
Ijazah alumni di atas masih ada di tangan saya sampai sekarang.
Fakta ini menguatkan saya untuk tetap berpikir optimis, sangat optimis, bahwa kesempatan mereka yang hilang karena tidak bisa ikut SNMPTN (jalur Undangan) atau ujian masuk lainnya sesaat mereka lulus, akan digantikan dengan kesempatan lain yang jauh lebih baik saat mereka menjalani pengabdian mengajar setahun ke depan.
No comments:
Post a Comment