Saturday, July 21, 2012

Layla dan Majnun


Kisah dua sejoli paling masyhur di muka bumi ini. Percintaan keduanya dikenal oleh manusia di semua penjuru dunia. Di tangan Shakespeare kisahnya berubah menjadi Romeo dan Juliet. Rumi menjadikannya sebagai bagian bahan dari Masnawinya.

Layla dan Majnun menggambarkan hubungan Kekasih dan Pecinta. Menjadi pecinta adalah jalan mendaki dan berduri. Napasnya berat menangung aroma cinta. Langkahnya seok menahan setiap duri mawar yang bertebaran di jalan. Oh, siapakah yang paling malang di dunia ini selain Pecinta? Dunia adalah penjara para pecinta.

Kekasih adalah pihak yang menerima cinta. Tiada yang sulit baginya. Pandai-pandailah memilih kekasih. Hanya pada mereka yang tahu berterimakasihlah hendaknya kau serahkan cintamu.
Pecinta menanamkan mawar, dan kekasih menyiramnya.
Pecinta melesatkan anak panah, dan angin kekasih membimbingnya
Pecinta awan yang menangis, dan kekasih memberinya pelangi

Cinta agung dan mulia. Siapa yang mengharapkan berjumpa dengannya siap-siap menjadi Majnun. Kepada Laylamu yang sejati, darah dan air mata perhiasan cintamu.

****

Mengawali Ramadhan dengan menghabiskan novel Layla dan Majnun karangan Nizami Ganjavi (Pengantin Surga. Penj, Salahuddien Gz. 2012. Jakarta: Dolphin), sungguh satu pelajaran berharga untuk meresapi ibadah dalam hati saya. Layla dan Majnun adalah satu cerita penuh hikmah jalan cinta para sufi.
Majnun adalah representasi dari orang-orang yang mencinta. Cinta bagi orang-orang yang betul-betul mempunyainya adalah kegilaan.
Layla bisa siapa pun orang yang kita cintai. Tapi Layla yang sejati hanyalah Pencipta Cinta itu sendiri. Dialah yang sejatinya merawat cinta para pecinta. Setia memegang amanah cinta dan menyiramkan lebih banyak bahan bakar cinta kepada para pecinta.

***

Dan siapakah diriku, yang jauh namun dekat darimu?
Aku pengemis yang menyanyi! Layla, kau mendengarku?
Terbebas dari putaran hidup yang membosankan,
Bagiku kesunyian dan kesedihan adalah kebahagiaan.
Kehausan di arus duka kegembiraan, aku tenggelam.
Wahai anak mentari, aku menderita di malam hari.
Walau terpisah, dua jiwa kita berpadu abadi,
Sebab milikku adalah milikmu, menyatu di dalam hati.


Kita adalah dua teka-teki bagi dunia.
Meski desah dan keluhan berasal dari dua bibir kita,
Sesunguhnya itu berasal dari satu mulut saja.
Bila pisau perpisahan membelah kita menjadi dua,
Satu cahaya kemilau menyelimuti kau dan aku,
Seperti dari alam lain, walau terhalang oleh waktu.

Meski di sini terpisahkan, di sana kita satu adanya.
Bila tubuh-tubuh yang putus asa terpisah,
Jiwa-jiwa bebas mengembara dan bercengkrama.
Aku akan hidup abadi, dan Malaikat Maut sendiri,
Tak lagi berkuasa mengndalikan jiwaku ini.
Bersama dirimu dalam kekekalan,
Aku hidup hanya bila kepadaku napasmu kau tiupkan.

***

A scene from Nezami's adaptation of the story. Layla and Majnun meet for the last time before their deaths. Both have fainted and Majnun's elderly messenger attempts to revive Layla while wild animals protect the pair from unwelcome intruders. Late sixteenth century illustration.
Sepasang kekasih berbaring di pusara ini,
Menanti kebangkitan dari rahim kegelapan.
Setia dalam perpisahan, setia dalam cinta,
Sebuah istana menanti mereka di alam sana.

No comments: